Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru terkait pembagian risiko (co-payment) pada produk asuransi kesehatan yang akan berlaku mulai tahun 2026. Kebijakan ini mewajibkan pemegang polis untuk menanggung sebagian biaya klaim, minimal 10% dari total pengajuan.
Langkah ini menuai berbagai reaksi, namun OJK menjelaskan alasan di balik kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya reformasi industri perasuransian dan pengendalian inflasi medis yang terus meningkat.
Alasan di Balik Kebijakan Co-Payment Asuransi Kesehatan
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa kebijakan co-payment diterapkan untuk mengatasi kenaikan premi asuransi kesehatan yang tidak terkendali.
Di beberapa negara, kebijakan serupa telah terbukti efektif menekan biaya premi sehingga menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat.
Ogi menambahkan, kenaikan biaya layanan kesehatan dan obat-obatan menjadi faktor utama penyebab inflasi medis di Indonesia yang jauh lebih tinggi daripada rata-rata global.
Mekanisme dan Batas Maksimum Co-Payment
Dalam skema co-payment, OJK menetapkan batas maksimum yang harus dibayar pemegang polis. Untuk rawat jalan, batas maksimumnya adalah Rp 300.000 per pengajuan klaim.
Sementara itu, untuk rawat inap, batas maksimumnya adalah Rp 3.000.000 per pengajuan klaim. Meskipun demikian, perusahaan asuransi dapat menetapkan nilai yang lebih tinggi jika disepakati dalam polis.
Inflasi medis di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 10,1% dan diproyeksikan naik menjadi 13,6% pada tahun 2025. Co-payment diharapkan mampu menurunkan angka tersebut.
Tujuan dan Manfaat Kebijakan Co-Payment
Selain menekan inflasi medis, kebijakan co-payment juga bertujuan untuk mengurangi klaim yang berlebihan (over utilisasi).
Diharapkan, dengan adanya co-payment, masyarakat akan lebih bijak dalam memanfaatkan layanan kesehatan dan hanya menggunakan layanan yang benar-benar dibutuhkan.
Kebijakan ini juga diharapkan dapat meminimalisir potensi penyalahgunaan atau fraud dalam pengajuan klaim, baik dari pihak pemegang polis, perusahaan asuransi, maupun rumah sakit.
Berdasarkan data dari negara lain, sekitar 5-10% dari total klaim asuransi kesehatan disebabkan oleh fraud. OJK memperkirakan angka tersebut di Indonesia mencapai sekitar 5%.
OJK juga berharap adanya kerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk mengendalikan inflasi medis. Dengan berbagai upaya ini, diharapkan sistem asuransi kesehatan di Indonesia dapat menjadi lebih berkelanjutan dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.