Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menghadapi dilema besar. Peluang bergabung dalam Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran menyimpan risiko signifikan.
Hal ini disampaikan oleh pengamat politik Agung Baskoro. Ia menekankan pentingnya kehati-hatian PDIP dalam mengambil keputusan ini.
Dilema PDIP: Kesetiaan Kader vs. Kekuasaan
Basis massa PDIP yang solid menjadi pertimbangan utama. Sekitar 17-18 persen suara tetap setia meskipun kalah di Pilpres 2024.
Masuknya PDIP ke kabinet berpotensi menimbulkan kekecewaan. Hal ini dikarenakan narasi yang diusung PDIP selama Pilpres berbeda dengan gagasan keberlanjutan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Kekecewaan ini berdampak jangka panjang. Potensi penurunan suara PDIP pada Pileg 2029 menjadi ancaman nyata.
Narasi yang berbeda selama Pilpres menjadi pertimbangan penting bagi PDIP. Mereka harus menghitung secara cermat potensi dampak bagi basis massa yang loyal.
Perhitungan Politik: Kursi Menteri vs. Ego Partai
Pertimbangan elektoral bukan satu-satunya faktor. Jatah kursi menteri yang didapat juga menjadi perhitungan penting.
Sebagai partai oposisi di Pilpres 2024, PDIP mungkin hanya mendapatkan jatah kursi terbatas di kabinet.
Namun, PDIP sebagai pemenang Pileg 2024 memiliki ego partai yang perlu dipertimbangkan.
Hanya mendapatkan 3-4 kursi menteri dianggap kurang memadai. PDIP mungkin mempertimbangkan kompensasi lain di luar kabinet.
Tantangan bagi Prabowo: Merangkul Semua Pihak
Situasi ini bukan hanya tantangan bagi PDIP, tetapi juga bagi Prabowo Subianto.
Prabowo ingin menjadi presiden yang inklusif, merangkul semua pihak. Namun, negosiasi dengan PDIP menjadi ujian nyata bagi komitmen tersebut.
Keberhasilan merangkul PDIP akan menunjukkan kapasitas kepemimpinan Prabowo. Sebaliknya, kegagalan bisa menciptakan polarisasi politik yang lebih tajam.
Keputusan PDIP akan sangat menentukan stabilitas politik ke depan. Baik PDIP maupun Prabowo harus mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari setiap pilihan.