Malaysia mencatatkan pertumbuhan penjualan mobil yang signifikan, berbanding terbalik dengan tren penurunan di negara-negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand. Kenaikan ini telah menjadikan Malaysia sebagai pasar otomotif terbesar kedua di Asia Tenggara, menggeser Thailand dan mendekati posisi Indonesia.
Keberhasilan industri otomotif Malaysia di tengah lesunya pasar global ini menarik perhatian. Salah satu faktor kunci adalah kebijakan pemerintah yang mendukung sektor ini.
Kebijakan Pemerintah Malaysia yang Mendukung Industri Otomotif
Pemerintah Malaysia konsisten memberikan insentif bagi industri otomotif, bahkan selama pandemi Covid-19. Hal ini berbeda dengan beberapa negara lain di kawasan tersebut.
Menurut Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, kebijakan insentif ini mendorong minat masyarakat untuk membeli mobil.
Selain insentif, pendapatan masyarakat Malaysia yang lebih tinggi juga menjadi faktor pendorong. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia yang saat ini mengalami penurunan daya beli.
Vietnam dan Filipina juga menerapkan kebijakan insentif pajak yang serupa. Ketiga negara ini menjadi contoh bagi Indonesia untuk dipelajari.
Perbandingan Pajak Kendaraan di Malaysia dan Indonesia
Salah satu perbedaan signifikan antara Malaysia dan Indonesia terletak pada pajak kendaraan. Pajak kendaraan di Malaysia jauh lebih rendah dibandingkan di Indonesia.
Sebagai contoh, pajak tahunan untuk mobil Avanza di Malaysia hanya sekitar Rp 300.000. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia yang mencapai Rp 4.000.000 per tahun.
Di Malaysia, tidak ada biaya perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) lima tahunan. Bea balik nama juga jauh lebih terjangkau, sekitar Rp 500.000 dan tanpa biaya mutasi daerah.
Beban pajak yang tinggi di Indonesia turut berkontribusi pada harga jual mobil yang lebih mahal. Hal ini memperberat daya beli masyarakat Indonesia yang sedang menurun.
Dampak Pajak Tinggi terhadap Daya Beli Masyarakat Indonesia
Pajak kendaraan yang tinggi di Indonesia membuat harga mobil menjadi lebih mahal. Konsumen harus membayar biaya tambahan yang signifikan di luar harga jual pabrik.
Pajak seperti PPN, PPnBM, BBNKB, dan PKB menambah beban biaya pembelian mobil. Kondisi ini semakin menekan daya beli masyarakat.
Akibatnya, harga mobil di Indonesia yang awalnya Rp 100 juta bisa membengkak menjadi Rp 150 juta. Hal ini tentu saja berdampak negatif terhadap penjualan mobil di Indonesia.
Sebagai perbandingan, membeli mobil di Malaysia lebih terjangkau. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong pertumbuhan penjualan mobil di negara tersebut.
Kesimpulannya, kesuksesan industri otomotif Malaysia didorong oleh kebijakan pemerintah yang konsisten memberikan insentif, diimbangi dengan pendapatan masyarakat yang relatif tinggi. Sebaliknya, beban pajak kendaraan yang tinggi di Indonesia menjadi salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan industri otomotif dan daya beli masyarakat. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan strategi untuk mengurangi beban pajak kendaraan agar dapat meningkatkan daya saing dan pertumbuhan sektor otomotif dalam negeri.