Asosiasi pengemudi ojek online (ojol) di Indonesia mengancam akan kembali menggelar demonstrasi besar-besaran jika tuntutan mereka tidak dipenuhi pemerintah. Permintaan utama mereka adalah penurunan tarif aplikasi dari 20% menjadi 10%.
Ancaman ini disampaikan menyusul ketidakpuasan terhadap respon pemerintah dan perusahaan aplikasi terhadap tuntutan yang sudah lama disuarakan. Para pengemudi menilai, belum ada tindakan nyata untuk meringankan beban mereka.
Tarif Aplikasi Jadi Titik Perselisihan
Perwakilan Kelompok Korban Aplikator, Ade Armansyah, menegaskan bahwa penurunan tarif aplikasi merupakan tuntutan utama yang konsisten disampaikan dalam setiap aksi. Mereka mendesak pemerintah untuk segera membuat aturan khusus mengenai tarif potongan aplikasi.
Ade menjelaskan, pihaknya tidak menolak rencana DPR untuk membuat Undang-Undang Angkutan Online. Namun, mereka meminta pemerintah untuk terlebih dahulu menyelesaikan masalah tarif potongan aplikasi sebelum membahas RUU tersebut.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, Ade menyatakan bahwa penurunan tarif menjadi 10% akan mencegah aksi-aksi ojol selanjutnya. Dukungan DPR untuk menekan pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan, sangat diharapkan.
Ancaman Aksi Lebih Besar Jika Tuntutan Tak Dipenuhi
Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menguatkan pernyataan tersebut. Ia memberikan ultimatum kepada pemerintah dan aplikator untuk segera mengambil tindakan.
Jika tuntutan mereka diabaikan hingga akhir Mei 2025, Garda Indonesia mengancam akan melakukan aksi yang lebih besar dan lebih massif daripada sebelumnya. Ketidakjelasan dan penundaan berlarut-larut menjadi alasan utama ancaman ini.
Polemik Potongan Biaya Aplikasi
Anggota Fraksi PDI-P, Adian Napitupulu, menyatakan dukungannya terhadap tuntutan para pengemudi ojol. Ia menganggap masalah potongan biaya aplikasi harus diselesaikan sebelum membahas rancangan Undang-Undang.
Adian menjelaskan bahwa Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022 menetapkan potongan aplikasi maksimal 20%. Namun, aplikator menciptakan berbagai jenis biaya tambahan, seperti biaya layanan atau biaya aplikasi, yang mengakibatkan potongan biaya keseluruhan bisa mencapai hampir 50% dari total transaksi.
Adian mempertanyakan dasar hukum dari biaya-biaya tambahan tersebut. Ia mencontohkan sebuah transaksi dengan tagihan Rp 36.000, dipotong biaya sebesar Rp 15.000. Besaran potongan ini jelas melampaui batas 20% yang diatur dalam Kepmenhub.
Ketidakjelasan regulasi dan praktik aplikator yang menciptakan berbagai biaya tambahan ini menjadi sebab utama perselisihan dan mengancam akan memicu demonstrasi besar-besaran dari para pengemudi ojol.
Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan permasalahan ini dan melindungi kesejahteraan para pengemudi ojol. Solusi yang adil dan transparan perlu segera ditemukan untuk mencegah eskalasi konflik dan menjaga stabilitas sektor transportasi online di Indonesia.