Kebijakan cukai rokok di Indonesia kembali menjadi sorotan. Rencana kenaikan tarif cukai memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, dan stabilitas penerimaan negara. Ketua Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun, menyoroti pentingnya perumusan kebijakan yang berimbang untuk menghindari pergeseran konsumsi ke produk ilegal.
Perdebatan ini menyangkut berbagai aspek, mulai dari dampak ekonomi hingga peran industri rokok skala kecil dan menengah. Analisis mendalam diperlukan untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Dampak Kenaikan Cukai terhadap Daya Beli dan Penerimaan Negara
Kenaikan cukai rokok berpotensi signifikan meningkatkan harga jual. Hal ini akan memukul daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah, mengingat mayoritas konsumen rokok terjangkau berada di segmen ini.
Harga rokok yang terjangkau, berkisar Rp13.000–Rp15.000 per bungkus, menjadi pilihan utama. Kenaikan tarif cukai bisa mendorong harga menjadi Rp20.000 atau lebih. Ini berpotensi mengalihkan konsumen ke produk ilegal yang tidak berkontribusi pada penerimaan negara.
Kondisi ini memunculkan dilema. Pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara melalui cukai, namun kenaikan yang terlalu signifikan berisiko menurunkan daya beli dan justru mengurangi penerimaan negara di kemudian hari karena peralihan ke pasar gelap.
Peran Vital Industri Rokok Skala Menengah dan Ancaman Dominasi Perusahaan Besar
Industri rokok skala menengah memiliki peran penting dalam perekonomian lokal. Mereka menyerap banyak tenaga kerja dan menggerakkan sektor pendukung, seperti petani tembakau, pedagang kecil, distributor, dan pekerja informal lainnya.
Kebijakan cukai yang terlalu menekan pabrikan menengah berpotensi menimbulkan efek domino. Penurunan serapan tenaga kerja dan terganggunya perputaran ekonomi lokal dapat terjadi.
Ada kekhawatiran kebijakan yang hanya menguntungkan perusahaan besar, yang cenderung berbasis otomatisasi, akan semakin memperlebar kesenjangan. Pabrik kecil dan menengah, yang padat karya, akan sulit bersaing dan terancam gulung tikar.
Data Asosiasi Industri Rokok menunjukkan sekitar 70 persen produksi nasional dikontrol perusahaan besar. Kenaikan konsentrasi pasar akan mengancam iklim persaingan yang sehat dan keberlangsungan usaha skala menengah.
Perlunya Kebijakan Fiskal yang Berimbang dan Berkelanjutan
Misbakhun menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang mempertimbangkan daya beli masyarakat. Pendekatan yang hanya berbasis target tahunan tanpa memperhatikan realitas sosial ekonomi dapat kontraproduktif.
Kebijakan yang berimbang perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan, termasuk keberlanjutan industri rokok skala menengah dan stabilitas ekonomi lokal.
Komisi XI DPR RI berencana memanggil Menteri Keuangan dan Dirjen Bea Cukai untuk membahas kebijakan penerimaan dari sektor hasil tembakau dalam RAPBN 2026. Harapannya, kebijakan yang dihasilkan mampu menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dengan keberlanjutan usaha dan stabilitas ekonomi.
Pendekatan komprehensif dan berbasis data sangat krusial dalam merumuskan kebijakan cukai yang adil dan berkelanjutan. Hal ini penting untuk memastikan kebijakan tersebut tidak hanya menghasilkan penerimaan negara yang optimal, namun juga mampu menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.