Perayaan Idul Adha 1446 Hijriah tahun ini diwarnai perbedaan penetapan tanggal. Di tengah pemerintah yang menetapkan Idul Adha jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025, beberapa kelompok masyarakat justru merayakannya sehari lebih awal, yakni Kamis, 5 Juni 2025.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan metode penentuan awal Zulhijah. Pemerintah menggunakan metode hisab dan rukyat, sementara beberapa kelompok memilih metode pengamatan alam, termasuk melihat bayangan bulan.
Jamaah An Nadzir Gowa Rayakan Idul Adha Lebih Awal
Salah satu kelompok yang merayakan Idul Adha lebih awal adalah Jamaah An Nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka menetapkan 10 Zulhijah berdasarkan pengamatan bayangan bulan dan tanda-tanda alam lainnya.
Pengamatan ini merupakan tradisi yang dipegang teguh oleh Jamaah An Nadzir. Metode ini berbeda dengan metode yang digunakan oleh pemerintah dalam menentukan hari raya besar Islam.
Foto-foto yang beredar menunjukkan jemaah An Nadzir tengah melaksanakan shalat Idul Adha di Gowa pada Kamis, 5 Juni 2025. Suasana khidmat terlihat dalam rangkaian ibadah tersebut.
Tarekat Naqsabandiyah Padang Juga Merayakan Lebih Awal
Tidak hanya Jamaah An Nadzir, Tarekat Naqsabandiyah di Padang, Sumatera Barat, juga merayakan Idul Adha lebih awal pada tanggal yang sama. Shalat Idul Adha dilaksanakan di Surau Baru Pauh, pusat aktivitas tarekat tersebut.
Sama seperti Jamaah An Nadzir, Tarekat Naqsabandiyah Padang memiliki metode sendiri dalam menentukan 10 Zulhijah. Mereka juga melaksanakan penyembelihan hewan kurban pada Jumat, 6 Juni 2025.
Dokumentasi foto menunjukkan jemaah Tarekat Naqsabandiyah khusyuk mengikuti rangkaian shalat Idul Adha. Suasana kekeluargaan dan penuh keimanan tampak terpancar dari para jemaah.
Perbedaan Metode Penentuan Idul Adha: Hisab dan Rukyat vs. Pengamatan Alam
Perbedaan penetapan tanggal Idul Adha menunjukkan adanya perbedaan metode penentuan awal Zulhijah di Indonesia. Pemerintah menggunakan metode hisab dan rukyat, yang menggabungkan perhitungan astronomi dan pengamatan langsung hilal.
Sementara itu, kelompok-kelompok seperti Jamaah An Nadzir dan Tarekat Naqsabandiyah Padang memilih untuk menggunakan metode tradisional, yaitu pengamatan langsung fenomena alam tertentu sebagai penanda masuknya bulan Zulhijah.
Perbedaan ini bukanlah hal yang baru dalam konteks keagamaan di Indonesia. Keberagaman metode penentuan hari raya merupakan bagian dari dinamika dan pluralisme masyarakat Indonesia.
Pemerintah menghargai perbedaan tersebut selama dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Hal ini penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Ke depan, dialog dan pemahaman antar berbagai kelompok masyarakat yang berbeda metode penentuan hari raya perlu terus dijaga dan ditingkatkan. Saling menghargai dan menghormati perbedaan adalah kunci utama dalam keberagaman.
Perbedaan metode penentuan Idul Adha menunjukkan kekayaan budaya dan tradisi keagamaan di Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan dalam praktik, semangat kebersamaan dan keimanan tetap menjadi inti dari perayaan Idul Adha bagi seluruh umat muslim.
Toleransi dan saling pengertian sangat penting dalam menghargai perbedaan tersebut dan menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Perbedaan ini seharusnya menjadi penguat, bukan pemecah persatuan.