Nurmini, seorang pengusaha ikan asin di Kalibaru, Jakarta Utara, baru saja pulang dari perjalanan bisnis ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun lelah, ia langsung kembali beraktivitas di tokonya.
Kedatangannya pada Rabu (30/4/2025) disambut kesibukan di toko ikan asin miliknya yang merupakan bagian dari Klaster Ikan Asin program ‘Klusterku Hidupku’ BRI.
Kisah Nurmini, Pengusaha Ikan Asin yang Berkembang Berkat Pinjaman BRI
Nurmini telah lama menjadi nasabah BRI. Ia bahkan tak ingat persis sejak kapan menjadi nasabah. Sejak almarhum suaminya masih hidup, ia telah menerima beberapa pinjaman dari BRI.
Pinjaman pertama sebesar Rp 100 juta, disusul Rp 150 juta setahun kemudian, dan yang terakhir Rp 200 juta pada Maret 2025.
Meskipun tokonya tergolong kecil dibandingkan toko lain di Jalan Kalibaru Barat IIA, omzet harian Nurmini cukup signifikan, mencapai Rp 10-15 juta, bahkan bisa mencapai Rp 20 juta saat ramai.
Ia mengaku tak perlu mengajukan KUR karena kebutuhan modalnya tercukupi dari pinjaman BRI yang telah diterimanya.
Dari Warisan Suami hingga Jualan Online Lewat WhatsApp
Usaha ikan asin ini awalnya milik mendiang suaminya. Setelah suaminya meninggal, Nurmini meneruskan usaha tersebut.
Ia dibantu putrinya, Asti, saat bepergian, dan beberapa karyawan yang menjaga toko dan gudang.
Nurmini terlibat dalam bisnis ikan asin sejak 2008, setelah pindah dari Solo dan bergabung dengan suaminya yang sudah memiliki toko di Kalibaru.
Pada masa lalu, bisnisnya lebih besar, dengan pengiriman berton-ton ikan asin ke berbagai wilayah di luar Jawa, seperti Kalimantan, Jambi, Lampung, dan Bangka.
Kini, setelah suaminya tiada, Nurmini fokus pada penjualan melalui WhatsApp kepada pelanggan tetapnya, alih-alih menggunakan marketplace online.
Hal ini karena menurutnya, mengelola pengiriman dari marketplace membutuhkan usaha yang lebih besar.
Strategi Bisnis dan Kemitraan dengan Pengasin Lokal
Setiap hari, Nurmini rutin memasarkan ikan asin ke beberapa pasar di Jakarta, termasuk Pasar Warakas, Pasar Nangka, dan Pasar Gembrong.
Ia tidak mengolah ikan asin sendiri, melainkan mengambil ikan asin yang sudah jadi dari para pengasin.
Salah satu pemasoknya adalah Jena, seorang pengasin yang sudah berpengalaman selama 20 tahun.
Jena mengolah ikan basah yang didapat dari nelayan, direbus, lalu dijemur sebelum ditawarkan kepada para pedagang seperti Nurmini.
Berbeda dengan Nurmini yang menggunakan pinjaman bank, Jena lebih memilih pinjaman dari koperasi PNM Mekaar sebesar Rp 125.000 per minggu.
Nurmini berharap suatu hari nanti dapat kembali mengirimkan ikan asin ke luar Jawa jika memungkinkan dan modalnya mencukupi.
Ia juga mempertimbangkan agar putrinya kelak bisa melanjutkan bisnis online tersebut dan mendapatkan pelanggan dari luar kota.
Transaksi: Antara Tunai, BRImo, dan QRIS
Nurmini masih mengandalkan transaksi tunai, meskipun sesekali menggunakan BRImo untuk transfer.
QRIS yang terpasang di tokonya jarang digunakan; ia lebih memilih transfer BRImo karena lebih praktis dan mudah dipantau.
Mantri BRI Unit Kalibaru, Katarina, menjelaskan bahwa stiker BRImo di toko-toko merupakan tanda keikutsertaan mereka dalam klaster ikan asin BRI.
Terdapat 11 pedagang yang terdaftar dalam sistem, semuanya nasabah BRI dan telah memiliki BRImo dan QRIS.
Katarina aktif mensosialisasikan penggunaan QRIS kepada pedagang dan pembeli agar transaksi lebih digital.
Manajer Bisnis Mikro (MBM) BRI KC Tanjung Priok, Sukma Julianto, mengakui bahwa penjualan di klaster ikan asin masih cukup tradisional, dengan hanya sebagian kecil yang memanfaatkan e-commerce.
Namun, ia optimistis bahwa generasi muda, seperti anak-anak para pedagang, akan mendorong perubahan ke arah digitalisasi transaksi.
Kisah Nurmini menunjukkan bagaimana program klaster dan akses permodalan dapat membantu UMKM berkembang, meski tantangan tetap ada. Perpaduan antara metode tradisional dan digitalisasi menjadi kunci keberhasilan bagi para pelaku usaha mikro seperti Nurmini.