Krisis politik menerjang Thailand. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, yang baru menjabat 10 bulan, berada di ambang pemecatan menyusul keluarnya partai koalisi utama.
Popularitasnya merosot, ditambah kelesuan ekonomi dan sengketa wilayah dengan Kamboja yang mengancam bentrokan militer, memperparah situasi.
Skandal Telepon dan Keruntuhan Koalisi
Puncak krisis terjadi setelah bocornya rekaman percakapan telepon antara Paetongtarn dan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen.
Partai Bhumjaithai, mitra koalisi terbesar kedua, langsung menarik diri. Percakapan tersebut dinilai merusak integritas negara dan citra militer.
Partai United Thai Nation (UTN), Chart Thai Pattana, dan Partai Demokrat akan mengadakan rapat untuk menentukan langkah selanjutnya.
Jika dua partai terakhir juga menarik diri, pemerintahan Paetongtarn akan menjadi pemerintahan minoritas yang sulit bertahan.
Respon Paetongtarn dan Tekanan Politik
Paetongtarn belum berkomentar resmi terkait keluarnya Bhumjaithai. Ia terlihat memasuki kantor pemerintahan di tengah penjagaan ketat polisi.
Dalam rekaman percakapan tanggal 15 Juni, Paetongtarn mendesak Hun Sen untuk menyelesaikan sengketa wilayah secara damai.
Ia membela diri dengan menyebut pernyataannya sebagai taktik negosiasi. Ia juga mengadakan pertemuan dengan pejabat keamanan untuk membahas krisis dengan Kamboja.
Paetongtarn meminta maaf atas kebocoran percakapan dan menyerukan persatuan nasional.
Ia menekankan pentingnya melindungi kedaulatan negara dan menyatakan kesiapan pemerintah mendukung militer.
Indeks bursa saham Thailand turun 2,4 persen, mencapai level terendah sejak 9 April.
Masa Depan Politik Thailand: Pemilu Dini?
Jika Paetongtarn mundur, parlemen harus memilih perdana menteri baru dari lima kandidat sisa pemilu 2023.
Alternatif lain adalah pemilu dini, yang mungkin menguntungkan Partai Rakyat, oposisi terbesar dan saat ini partai paling populer.
Partai Rakyat merupakan kelanjutan dari Partai Move Forward (MFP), pemenang pemilu 2023 yang dibubarkan pengadilan.
MFP menilai Thailand lumpuh dan hanya pemilu baru yang dapat menyelesaikan masalah.
Ketua Partai Rakyat, Natthaphong Ruengpanyawut, mendesak Paetongtarn membubarkan parlemen.
Ia percaya rakyat menginginkan pemerintahan yang sah dan demokratis yang mampu menyelesaikan masalah.
Bayang-bayang pengaruh Thaksin Shinawatra, ayah Paetongtarn, juga terus menjadi sorotan.
Meskipun tidak menjabat, Thaksin aktif berkomentar kebijakan dan tampil publik sejak kembali dari pengasingan.
Sikap militer yang agresif terkait sengketa perbatasan semakin menyoroti peran dominan militer dalam politik Thailand.
Militer Thailand telah melakukan kudeta pada 2006 dan 2014 untuk menggulingkan pemerintahan Thaksin.
Militer menyatakan komitmen pada demokrasi dan menyerukan persatuan nasional.
Situasi politik Thailand saat ini sangat dinamis dan penuh ketidakpastian. Nasib Paetongtarn dan masa depan pemerintahannya masih menjadi teka-teki. Langkah-langkah selanjutnya yang diambil oleh partai-partai politik dan militer akan sangat menentukan arah politik Thailand di masa mendatang. Mungkin saja pemilu dini akan menjadi solusi, tetapi hal itu juga menyimpan potensi konflik dan ketidakstabilan lebih lanjut.