Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah telah menarik perhatian luas. Diskusi publik mengemuka terkait kandungan gizinya, potensi keracunan, keterlambatan pembayaran mitra, dan efektivitas penyaluran. Pemerintah menjadikan MBG sebagai prioritas utama dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
MBG bertujuan membangun generasi sehat, cerdas, dan produktif. Program ini dibangun di atas empat pilar utama: peningkatan status gizi, partisipasi dan kualitas pendidikan, penguatan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. Sasarannya meliputi peserta didik, anak di bawah lima tahun, dan ibu hamil serta menyusui.
Ibu Hamil dan Menyusui: Sasaran yang Sering Terpinggirkan
Meskipun ibu hamil dan menyusui merupakan kelompok sasaran utama MBG, kenyataannya mereka sering terabaikan. Fokus program lebih terarah pada peserta didik karena lebih mudah dijangkau melalui sekolah. Padahal, masa kehamilan hingga usia tiga tahun adalah periode emas perkembangan otak anak.
Sekitar 80 persen perkembangan otak terjadi dalam tiga tahun pertama. Gizi dan stimulasi yang cukup pada fase ini sangat krusial untuk perkembangan kognitif dan fisik anak. Kekurangan gizi pada ibu hamil meningkatkan risiko bayi lahir dengan berat badan rendah.
Ibu menyusui yang kekurangan gizi juga berisiko mengalami penurunan volume ASI, hambatan pemulihan pascapersalinan, kerusakan tulang, anemia, dan penurunan imunitas. Dampaknya tidak hanya dirasakan ibu, tetapi juga anaknya. Oleh karena itu, perlu pendekatan berbeda yang melibatkan ibu secara aktif dalam pengambilan keputusan gizi.
Tantangan Data dan Akses Layanan MBG
Distribusi MBG untuk ibu hamil dan menyusui saat ini masih bergantung pada layanan kesehatan seperti puskesmas, pustu, dan posyandu. Namun, ibu hamil dan menyusui biasanya hanya mengakses layanan ini sebulan sekali. Intervensi MBG yang ideal seharusnya harian untuk dampak maksimal.
Desain intervensi yang menggabungkan edukasi gizi sangat penting. Hal ini agar sasaran tidak hanya menjadi penerima pasif, tetapi juga agen perubahan gizi dalam keluarga. Edukasi gizi menjamin keberlanjutan program dan menciptakan dampak jangka panjang.
Peran Edukasi Gizi: Dari Informasi ke Perubahan Perilaku
Edukasi untuk ibu hamil dan menyusui memerlukan metode pembelajaran orang dewasa (andragogi). Metode ini menekankan pengalaman nyata, partisipasi aktif, dan relevansi materi dengan kebutuhan harian. Mengajak ibu menyusun dan memasak menu bergizi lebih efektif daripada hanya menjelaskan gizi seimbang.
Pengalaman hidup ibu harus menjadi sumber pembelajaran. Fokusnya bukan hanya penyampaian informasi, tetapi membantu memecahkan masalah gizi sehari-hari. Perubahan perilaku membutuhkan proses bertahap melalui Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP): prakontemplasi, kontemplasi, persiapan, tindakan, dan pemeliharaan.
Pendampingan konsisten menjadi kunci keberhasilan edukasi. Perubahan tidak terjadi seketika. Konsistensi dalam pendampingan sangat penting untuk memastikan edukasi memberikan dampak nyata.
Pemberian makanan bergizi akan efektif jika dibarengi pemberdayaan sasaran. Dengan pengetahuan dan peran aktif, ibu hamil dan menyusui dapat menjadi penggerak perubahan gizi dalam keluarga. Mereka bukan sekadar penerima manfaat, tetapi agen perubahan yang dapat menjangkau sasaran lain dalam ekosistem MBG. Pendekatan holistik dan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan program MBG dan mewujudkan generasi Indonesia yang sehat dan berkualitas.