Tragedi jatuhnya turis Brasil, Juliana Marins (27), ke jurang di Gunung Rinjani menyoroti kelemahan sistem penyelamatan darurat di area tersebut. Kejadian ini memicu gelombang kritik atas lambatnya respon dan operasional penyelamatan yang dinilai tidak optimal oleh warganet Brasil dan berbagai pihak.
Juliana ditemukan tewas empat hari setelah kecelakaan di Cemara Nunggal, area yang relatif dekat dengan puncak. Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, menyatakan akan melakukan evaluasi menyeluruh atas insiden ini.
Evaluasi Sistem Penyelamatan Gunung Rinjani
Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyelamatan darurat di Gunung Rinjani. Evaluasi ini akan mencakup pelatihan tambahan bagi tim SAR dan penambahan fasilitas di titik-titik strategis untuk mempercepat proses penyelamatan.
Syafii mengakui perbedaan tantangan penyelamatan antara medan ekstrem seperti Gunung Rinjani dengan medan yang lebih landai. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa evakuasi jenazah Juliana dilakukan lebih cepat dari perkiraan.
Tim evakuasi berhasil mencapai lokasi korban dalam waktu enam jam, jauh lebih cepat dari estimasi waktu tempuh normal yang mencapai delapan jam. Ini menunjukkan potensi peningkatan efisiensi jika sistem dan pelatihan ditingkatkan.
Prosedur Operasional Standar (SOP) dan Tantangan Medan
Syafii menjelaskan bahwa operasi penyelamatan mengacu pada SOP yang telah ditetapkan. Salah satu poin penting dalam SOP adalah tim SAR tidak boleh meninggalkan korban setelah ditemukan, berapapun kondisi korban.
Tim SAR, sesuai SOP, mendirikan “flying camp” untuk memastikan penanganan korban. Ini merupakan bagian dari pelatihan yang mereka terima dan menjadi tanggung jawab mereka.
Untuk mencegah kejadian serupa, Syafii menekankan pentingnya kepatuhan pengunjung terhadap aturan dan SOP pendakian Gunung Rinjani. Keselamatan pendaki tetap menjadi prioritas utama.
Kontroversi Penutupan Jalur Pendakian dan Peran Helikopter
Salah satu poin kontroversi yang muncul adalah masih dibukanya jalur pendakian Gunung Rinjani hingga puncak pada 21-24 Juni 2025. Jalur baru ditutup pada Selasa siang, setelah kejadian jatuhnya Juliana.
Penggunaan helikopter juga menjadi sorotan. Helikopter baru dikerahkan pada hari Senin, namun terkendala kabut tebal yang menghalangi akses ke lokasi korban.
Kondisi serupa terjadi saat evakuasi jenazah Juliana pada Rabu. Posisi jenazah yang berada di kedalaman 600 meter mempersulit proses evakuasi, yang akhirnya dilakukan secara manual dengan tandu.
Jenazah Juliana akhirnya berhasil dievakuasi melalui jalur Bukit Telu dan tiba di Posko Gabungan Evakuasi pada pukul 20.40 Wita. Proses evakuasi ini melibatkan tim gabungan dan mobil jenazah yang telah bersiaga.
Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi pengelola dan pihak terkait dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan sistem penyelamatan di Gunung Rinjani. Evaluasi menyeluruh dan implementasi perbaikan sistem menjadi kunci pencegahan tragedi serupa di masa mendatang. Peningkatan koordinasi antar instansi dan pelatihan yang komprehensif bagi tim penyelamat sangat diperlukan untuk memastikan keselamatan para pendaki.