Israel semakin gencar menunjukkan ambisi untuk menjatuhkan pemerintahan Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Ali Khamenei. Serangan-serangan yang dilakukan, tak hanya menyasar fasilitas nuklir, tetapi juga meluas ke instalasi penting lainnya, termasuk kantor penyiar nasional Iran (IRIB). Para ahli menilai, aksi Israel ini lebih bertujuan untuk perubahan rezim, bukan sekadar pencegahan proliferasi nuklir. Nicole Grajewski dari Carnegie Endowment misalnya, menyatakan serangan-serangan tersebut lebih diarahkan pada perubahan rezim ketimbang hanya pencegahan nuklir.
Namun, kejatohan Khamenei justru berpotensi memicu ketidakpastian dan kekacauan besar di Timur Tengah. Ancaman tersebut mendorong analis untuk menelaah berbagai skenario yang mungkin terjadi pasca tumbangnya rezim saat ini.
1. Kuasa Beralih ke Tangan IRGC
Skenario paling mungkin pasca jatuhnya rezim Khamenei adalah pengambilalihan kekuasaan oleh Korps Garda Revolusi Iran (IRGC). IRGC, sebagai entitas militer yang sangat berpengaruh, diprediksi akan memanfaatkan kekosongan kekuasaan untuk mengambil alih kendali.
Nicole Grajewski kembali mengingatkan, walaupun harapan idealnya adalah munculnya pemerintahan yang demokratis dan liberal, kemungkinan besar IRGC, sebagai kekuatan yang kuat, akan mengambil alih.
Thomas Juneau, profesor di Universitas Ottawa, menambahkan bahwa tanpa oposisi demokratis yang terorganisir, kudeta oleh IRGC atau transisi dari teokrasi ke kediktatoran militer menjadi alternatif yang paling memungkinkan. Skenario ini sangat berisiko karena IRGC dikenal sebagai kelompok garis keras, yang akan semakin memperburuk hubungan Iran dengan dunia internasional.
2. Kembalinya Monarki di Bawah Reza Pahlavi?
Kembalinya monarki di bawah kepemimpinan Reza Pahlavi, putra mendiang Shah Mohammad Reza Pahlavi, merupakan skenario alternatif. Reza Pahlavi, yang kini tinggal di Amerika Serikat, merupakan salah satu tokoh oposisi Iran yang paling dikenal di kancah internasional.
Ia secara terbuka menentang rezim Iran dan bahkan menuding Khamenei “bersembunyi seperti tikus ketakutan” setelah serangan Israel baru-baru ini. Pahlavi juga menyerukan pemulihan hubungan dengan Israel, seperti pada masa pemerintahan ayahnya.
Para pendukungnya bahkan mengusulkan istilah “Perjanjian Cyrus” sebagai simbol rekonsiliasi historis antara Iran dan Israel. Namun, dukungan terhadap Pahlavi tidaklah merata, baik di dalam maupun luar Iran. Nasionalisme para pendukungnya dan kedekatannya dengan Israel memicu perpecahan, terutama setelah ia menolak mengutuk serangan udara Israel ke Iran.
Thomas Juneau menilai, meskipun Reza Pahlavi dikenal luas, dukungan dalam negerinya mungkin telah dilebih-lebihkan oleh para pendukungnya. Selain Pahlavi, kelompok oposisi lain seperti Mujahidin Rakyat Iran (MEK) juga menginginkan tumbangnya rezim, namun MEK memiliki reputasi yang buruk karena pernah mendukung Saddam Hussein.
3. Konflik Etnis Internal: Ancaman yang Tak Terduga
Skenario ketiga yang tak kalah mengkhawatirkan adalah meletusnya konflik etnis internal di Iran. Iran memiliki beragam kelompok etnis minoritas, seperti Kurdi, Arab, Baluch, dan Turki, yang hidup berdampingan dengan mayoritas Persia.
Jika rezim Iran jatuh, negara-negara yang berseteru dengan Iran berpotensi memanfaatkan perpecahan etnis ini untuk memperkeruh situasi. Hal ini akan memicu ketidakstabilan yang jauh lebih besar dan berdampak luas.
Irak pada 2003 dan Libya pada 2011 menjadi contoh nyata dampak negatif dari intervensi militer yang bertujuan menggulingkan rezim. Kedua operasi tersebut memang berhasil menggulingkan Saddam Hussein dan Muammar Gaddafi, tetapi justru memicu konflik berkepanjangan dan pertumpahan darah.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengingatkan agar dunia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ia menekankan bahwa upaya penggantian rezim Iran melalui cara militer akan membawa kekacauan. Soufan Center, sebuah lembaga think tank di Amerika Serikat, juga memperingatkan bahwa jatuhnya rezim Iran akan mengganggu keamanan regional dan berdampak global.
Kesimpulannya, jatuhnya rezim Iran menyimpan berbagai potensi skenario yang tak terduga dan berisiko tinggi. Ketidakpastian yang muncul pasca keruntuhan rezim tersebut jauh lebih kompleks dan berpotensi memicu ketidakstabilan regional yang lebih besar dibandingkan Irak, dengan dampak global yang signifikan. Oleh karena itu, kehati-hatian dan pendekatan yang bijak sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi ini.