Kita sering mendengar ungkapan, “Lakukan apa yang kamu cintai, dan kamu tak akan bekerja sehari pun dalam hidupmu.” Ungkapan ini, walau terdengar menawan, seringkali gagal mengatasi akar permasalahan kejenuhan dan keputusasaan dalam dunia kerja.
Alih-alih mencari solusi, ungkapan-ungkapan semacam itu justru menjadi mekanisme penghindar, menutupi perasaan sebenarnya yang kita alami. Simone Stolzoff, dalam buku terbarunya, menawarkan perspektif berbeda.
Mitos Pekerjaan Sebagai Identitas
Stolzoff, melalui bukunya “The Good Enough Job: Merebut Kembali Kehidupan dari Pekerjaan,” mengungkap fenomena “kerjaisme” atau “workism,” di mana identitas pribadi seseorang melekat erat pada pekerjaannya. Hal ini semakin menonjol di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Di Amerika, pertanyaan “Apa pekerjaanmu?” seringkali menjadi pintu masuk untuk memahami identitas seseorang. Pekerjaan seakan-akan mendefinisikan siapa diri kita di mata masyarakat. Konsekuensinya, kebahagiaan menjadi tergadaikan.
Jika kita terlalu mengidentifikasi diri dengan pekerjaan, kekecewaan yang muncul saat pekerjaan tidak sesuai harapan akan berdampak besar pada kesejahteraan mental dan kesuksesan karier. Hal ini bahkan bisa berujung pada kesehatan mental yang buruk dan rendahnya tingkat produktivitas.
Penelitian menunjukkan kaitan antara “kerjaisme” dengan berbagai masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Bahkan, angka kematian akibat kerja berlebihan secara global lebih tinggi daripada kematian akibat malaria.
Dampak Kerjaisme pada Kehidupan
Stolzoff meneliti budaya kerja di Amerika, yang menunjukkan tren peningkatan “kerjaisme.” Ia menekankan bahwa pekerjaan hanyalah sebagian kecil dari kehidupan, bukan keseluruhannya.
Dalam budaya “kerjaisme,” orang mencari makna hidup semata-mata melalui pekerjaan, mirip seperti pencarian makna spiritual bagi penganut agama tertentu. Hal ini berdampak buruk bagi keseimbangan hidup.
Revolusi industri dan perkembangan teknologi memperparah situasi. Jam kerja yang tidak terbatas dan tekanan produktivitas menghilangkan batasan antara hidup pribadi dan profesional.
Stolzoff menyarankan diversifikasi sumber identitas dan makna hidup. Jangan sampai identitas kita hanya bergantung pada satu hal, yaitu pekerjaan.
Mencari “Cukup Baik” Bukan “Sempurna”
Stolzoff mengadopsi konsep “cukup baik” (good enough) dari psikoanalisis Donald Winnicott. Konsep ini menekankan bahwa pendekatan yang “cukup baik” lebih sehat daripada mengejar kesempurnaan yang mustahil.
Dalam konteks pekerjaan, mengejar kesempurnaan yang berlebihan bisa berdampak negatif. Kegagalan kecil saja bisa dirasakan sebagai bencana besar, menimbulkan kecemasan dan depresi.
Melekatkan harga diri pada pekerjaan adalah permainan yang berbahaya. Kita perlu mengubah paradigma dan melepaskan identitas kita dari pekerjaan semata.
Buku “The Good Enough Job” bertujuan untuk membantu pembaca menyeimbangkan kehidupan profesional dan personal. Buku ini bukan sekadar solusi instan, melainkan panduan untuk membangun hubungan yang lebih sehat dengan pekerjaan.
Dengan mengubah ekspektasi dan prioritas, kita dapat menciptakan keseimbangan yang lebih baik. Kita bernilai lebih daripada sekadar pekerjaan kita. “Cukup baik” adalah jalan menuju kehidupan yang lebih bermakna dan bahagia.
Buku ini mengajak pembaca untuk merefleksikan hubungan mereka dengan pekerjaan, dan menemukan keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kebahagiaan pribadi. Intinya, kita lebih dari sekadar pekerjaan kita.