Seruan untuk menggulingkan pemerintahan Republik Islam Iran kembali menggema. Oposisi dalam dan luar negeri mendesak demonstrasi besar-besaran. Namun, situasi geopolitik yang tegang, terutama dengan serangan-serangan Israel ke wilayah Iran, menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis dalam negeri.
Reza Pahlavi, putra mendiang Shah Iran, memanfaatkan momentum ini. Ia menyatakan kesiapan memimpin transisi politik di Iran, menyebutnya sebagai kesempatan terbaik dalam empat dekade terakhir. Seruannya disambut beberapa kelompok oposisi di luar negeri, termasuk organisasi separatis Kurdi dan Baluchi.
Kekhawatiran Masyarakat Sipil di Tengah Seruan Aksi
Namun, dukungan dari dalam negeri terhadap seruan demonstrasi masih terbatas. Aktivis HAM Atena Daemi, misalnya, menilai situasi saat ini terlalu berbahaya bagi masyarakat untuk turun ke jalan. Ia menekankan prioritas keselamatan diri dan keluarga di tengah ketegangan.
Peraih Nobel Perdamaian, Narges Mohammadi, mengungkapkan sentimen serupa. Ia menolak imbauan pengungsian dari beberapa wilayah Teheran yang dilontarkan Israel. Dua aktivis lain yang diwawancarai Reuters di Iran juga menyatakan keraguan untuk berpartisipasi dalam aksi massa.
Seorang mahasiswa di Shiraz, misalnya, menyatakan akan bersuara setelah serangan udara berakhir. Sementara mantan mahasiswa yang pernah dipenjara usai protes 2022, menyatakan dukungannya pada perubahan rezim namun menolak seruan demonstrasi dari luar negeri. Ia menuding Israel dan pemimpin oposisi luar negeri hanya mementingkan diri sendiri.
Fragmentasi Oposisi dan Kurangnya Dukungan Internal
Selain Reza Pahlavi, Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (MEK/MKO) merupakan faksi oposisi berpengaruh. Namun, kelompok ini masih menuai kontroversi. Mereka dituduh berkhianat saat Perang Iran-Irak dan melakukan pelanggaran HAM. Tuduhan tersebut dibantah MEK.
Pemimpin Dewan Perlawanan Nasional Iran, Maryam Rajavi, menegaskan penolakan terhadap kembalinya sistem monarki. Ia menyerukan “Tidak untuk Shah, tidak juga untuk para mullah.” Namun, belum jelas seberapa besar dukungan rakyat Iran terhadap kelompok-kelompok oposisi luar negeri mengingat banyak warga Iran terlalu muda untuk mengingat era sebelum revolusi 1979.
Sejarah Protes dan Perimbangan Kekuatan
Gelombang protes di Iran selama dua dekade terakhir berakar pada berbagai isu. Protes 2009 dipicu dugaan kecurangan pemilu. Protes 2017 fokus pada krisis ekonomi. Sementara protes 2022 dipicu kematian Mahsa Amini dan menyoroti isu hak-hak perempuan.
Tokoh reformis Mir-Hossein Mousavi, yang menjadi simbol gerakan 2009, masih ditahan. Meski demikian, ia tetap menyerukan reformasi sistem, bukan penggulingan total. Di sisi lain, rezim Iran juga bersiap menghadapi potensi demonstrasi. Milisi Basij di Qom telah disiagakan untuk menjaga stabilitas.
Meskipun aparat keamanan menjadi target serangan Israel, dampaknya juga dirasakan masyarakat sipil. Hal ini menimbulkan ketakutan dan kemarahan terhadap pemerintah Iran maupun Israel. Pertanyaan tentang kepemimpinan gerakan rakyat, waktu aksi, dan agenda perubahan masih belum terjawab di tengah memanasnya situasi perang Israel-Iran. Masa depan Iran masih belum jelas.