Bali, pulau Dewata yang terkenal akan keindahan alam dan budayanya, menyimpan tradisi unik yang kerap menarik perhatian wisatawan mancanegara: larangan bagi perempuan menstruasi memasuki pura.
Tradisi ini sudah berlangsung berabad-abad, berakar pada kepercayaan Hindu Bali tentang kesucian tempat ibadah.
Konsep Cuntaka dan Kesucian Pura
Larangan tersebut bersumber dari konsep “cuntaka” dalam ajaran Hindu Bali. Cuntaka merujuk pada kondisi sementara yang dianggap tidak suci, termasuk menstruasi, persalinan, sakit berat, atau berkabung.
Dalam kondisi cuntaka, seseorang dianggap mengganggu keseimbangan energi spiritual di pura, sehingga dilarang memasuki area suci.
Tidak hanya perempuan yang menstruasi, pria atau siapa pun dalam kondisi cuntaka juga terlarang memasuki pura.
Menurut Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, kehadiran orang dalam kondisi cuntaka diyakini dapat memengaruhi harmoni dan kesucian pura.
Mencari Keseimbangan Antara Tradisi dan Kesetaraan
Di era modern yang mengedepankan kesetaraan gender, tradisi ini menimbulkan pro dan kontra.
Beberapa pihak menilai larangan tersebut membatasi hak perempuan atas kebebasan beragama dan akses ke tempat ibadah, sebuah ketidaksetaraan yang tidak dialami laki-laki.
Mereka berpendapat siklus menstruasi adalah proses alami yang tidak seharusnya membatasi partisipasi spiritual.
Namun, masyarakat adat dan tokoh agama Bali menegaskan aturan ini bukan diskriminasi, melainkan bagian integral dari sistem kepercayaan leluhur untuk menjaga kesakralan pura.
Sira Mpu Dharma Agni Yoga Sonata, pemuka agama Hindu, menjelaskan perempuan menstruasi tetap bisa melakukan penyucian diri melalui doa dan mantra dari rumah.
Dampak Pariwisata dan Pandangan Internasional
Aturan ini juga menjadi sorotan media internasional, khususnya dampaknya terhadap pengalaman wisatawan perempuan.
Beberapa wisatawan asing mengaku terkejut dengan larangan ini, terutama mengingat Bali sebagai destinasi wisata global.
Perdebatan ini menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan pelestarian budaya tradisional dengan prinsip kesetaraan dan keterbukaan di era globalisasi.
Mempelajari tradisi ini memberikan wawasan penting tentang kompleksitas budaya Bali dan bagaimana masyarakatnya menavigasi perubahan sosial.
Pemahaman yang lebih mendalam diperlukan untuk menghargai akar budaya Bali sekaligus memastikan keadilan dan kesetaraan bagi semua.