Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyoroti tantangan dalam memberantas kemiskinan di Indonesia. Ia menghubungkan kesulitan tersebut dengan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elite. Pernyataan ini disampaikan dalam pidato di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025.
Menurutnya, pengusaha besar, pejabat, dan aktor politik membentuk kelompok elite yang kolusi di antara mereka menghambat kemajuan ekonomi masyarakat miskin. Hal ini mengakibatkan mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan sulit untuk naik ke kelas menengah.
Kolusi Elite Penghambat Pengentasan Kemiskinan
Prabowo menjelaskan bahaya penguasaan negara oleh segelintir elite di negara berkembang seperti Indonesia. Kolusi antara pemodal besar, pejabat pemerintah, dan elite politik, menurutnya, menjadi akar masalah. Kerja sama yang tidak sehat ini menghasilkan kegagalan dalam upaya pengentasan kemiskinan dan perluasan kelas menengah.
Ia menolak sistem ekonomi kapitalis dan sosialis murni. Keduanya, menurut Prabowo, memiliki kelemahan yang signifikan.
Jalan Tengah: Menggabungkan Kelebihan Kapitalisme dan Sosialisme
Prabowo mengusulkan pendekatan yang lebih seimbang. Ia berpendapat bahwa sosialisme murni menciptakan ketergantungan dan mengakibatkan rendahnya motivasi kerja. Sementara itu, kapitalisme murni menyebabkan ketimpangan yang ekstrem, dengan hanya sebagian kecil yang menikmati hasil kekayaan.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya menggabungkan sisi positif dari kedua sistem tersebut. Inovasi dan inisiatif dari sistem kapitalisme tetap dibutuhkan. Namun, intervensi pemerintah juga krusial untuk melindungi kelompok rentan dan mengatasi kesenjangan.
Dampak Perubahan Metode Perhitungan Kemiskinan Bank Dunia
Bank Dunia baru-baru ini mengubah metode perhitungan kemiskinan global. Penggunaan purchasing power parities (PPP) 2021 menggantikan PPP 2017, berdampak signifikan pada data kemiskinan di Indonesia.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan 2024 mencapai 285,1 juta jiwa. Dengan PPP 2021, jumlah penduduk miskin mencapai 68,25 persen atau sekitar 194,67 juta orang. Angka ini meningkat dari 60,25 persen atau 171,74 juta jiwa berdasarkan PPP 2017. Perubahan ini menunjukkan betapa pentingnya metode pengukuran dalam memahami skala kemiskinan.
Analisis Data Kemiskinan yang Baru
Peningkatan signifikan dalam persentase kemiskinan, dari 60,25% menjadi 68,25%, menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan pengentasan kemiskinan yang ada. Data ini juga menyoroti pentingnya akurasi data dan metodologi dalam perencanaan kebijakan ekonomi dan sosial.
Pemerintah perlu mengkaji ulang strategi yang sudah ada dan mengembangkan pendekatan yang lebih efektif untuk mengatasi kemiskinan, dengan mempertimbangkan perubahan metodologi perhitungan kemiskinan ini.
Pernyataan Prabowo Subianto mengenai konsentrasi kekayaan dan kolusi elite menjadi sorotan penting. Perubahan data kemiskinan dari Bank Dunia semakin menggarisbawahi urgensi untuk mengatasi masalah ini. Tantangan ke depan adalah merumuskan kebijakan ekonomi yang mampu menciptakan pertumbuhan inklusif, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Hal ini membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama dalam membangun ekonomi yang adil dan berkelanjutan.