Fenomena “latte dad” yang tengah ramai diperbincangkan bukanlah sekadar tren gaya hidup. Istilah ini merujuk pada para ayah di Swedia yang aktif terlibat dalam pengasuhan anak, menikmati waktu bersama keluarga, dan memanfaatkan cuti orangtua berbayar yang panjang dan fleksibel. Lebih dari sekadar minum kopi di kafe sambil mengasuh anak, fenomena ini menyoroti pentingnya kebijakan cuti orangtua yang mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuhan.
Para ayah yang disebut “latte dad” ini sering terlihat mendorong kereta bayi atau menggendong anak mereka. Usia mereka beragam, mulai dari ayah muda hingga ayah yang anak-anaknya telah sedikit lebih besar. Keberadaan mereka menjadi pemandangan umum di Swedia, mencerminkan perubahan sosial yang signifikan.
Latte Dad di Swedia: Lebih dari Sekadar Gaya Hidup
Istilah “latte dad” pertama kali muncul di Swedia. Istilah ini menggambarkan para ayah yang aktif terlibat dalam pengasuhan anak.
Mereka memanfaatkan program cuti orangtua berbayar yang panjang dan fleksibel. Program ini memungkinkan ayah untuk menghabiskan waktu berkualitas dengan anak-anak mereka.
Johan, salah satu latte dad, mengungkapkan kebahagiaannya bisa menghabiskan waktu bersama putra berusia lima tahunnya. Ia masih memiliki sisa cuti orangtua yang dapat digunakan. Baginya, momen ini sangat berharga dan istimewa.
Cuti Orangtua Berbayar di Swedia: Sistem yang Mendukung Kesetaraan Gender
Swedia menjadi pelopor dalam kebijakan cuti orangtua. Sejak 1974, negara ini menggantikan cuti melahirkan berbasis gender dengan cuti orangtua yang lebih inklusif.
Hal ini bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam pengasuhan anak. Orangtua diberikan fleksibilitas untuk membagi cuti sesuai kebutuhan mereka.
Program ini memberikan hak cuti orangtua berbayar selama 480 hari (sekitar 1 tahun 3 bulan 25 hari) saat anak lahir atau diadopsi. Setiap orangtua berhak atas 240 hari. Jika anak lahir pada 2016 atau setelahnya, masing-masing orangtua memiliki 90 hari khusus untuk mereka. Cuti orangtua bahkan dapat dialihkan hingga 45 hari kepada anggota keluarga lainnya.
Statistik menunjukkan bahwa rata-rata ayah di Swedia mengambil sekitar 30 persen dari total cuti orangtua berbayar.
Cuti Ayah di Indonesia: Perbandingan dan Tantangan
Di Indonesia, UU KIA (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan) mengatur hak cuti ayah, atau lebih tepatnya disebut cuti pendampingan istri.
Suami berhak atas cuti dua hari saat persalinan, dengan kemungkinan perpanjangan hingga tiga hari. Cuti juga diberikan jika terjadi keguguran. Durasi cuti ini jauh lebih singkat dibandingkan Swedia.
Lenny Nurhayati Rosalin, Ketua Panja Pemerintah untuk UU KIA, menjelaskan bahwa durasi cuti ayah disesuaikan dengan kebutuhan. Beliau menyinggung bahwa untuk persalinan normal, sehari saja sudah cukup bagi ayah untuk mendampingi.
Ibu yang bekerja di Indonesia berhak atas cuti melahirkan minimal tiga bulan, dan bisa diperpanjang hingga tiga bulan lagi jika ada kondisi khusus. Keguguran juga berhak atas cuti istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter.
Perbedaan signifikan antara sistem cuti orangtua di Swedia dan Indonesia menunjukkan adanya perbedaan filosofi dan prioritas dalam hal pengasuhan anak dan peran ayah. Di Swedia, kebijakannya lebih progresif dalam mendukung kesetaraan gender dan keterlibatan ayah. Sementara di Indonesia, masih ada ruang untuk peningkatan agar lebih mendukung peran aktif ayah dalam pengasuhan sejak dini. Sistem cuti yang lebih panjang dan fleksibel berpotensi menciptakan dampak positif, baik bagi perkembangan anak, hubungan keluarga, maupun kesetaraan gender di tempat kerja.